Wednesday, August 16, 2006

MUSIC FOR WHAT?

by hazril hafiz mohd. hassan

I was only 10 when I first bought my first record. It was from a local band, lining up a very young and talented bunch of boys offering their best to the public. I never was so impressed by any musical forces back then. I was too young to really cope with those colorful sounding material that soon will my major interest.

Start with my father. I learned some basic “introduction” from him. During his younger days, I heard some truthful moment of him involving himself with music. I understand, from him and my mother, he loved rock music… though he never told me directly. The band, two of them I would like to mention here – Sweet Charity and Deep Purple were on his top list. On the radio, perhaps during that time in the 80’s, this (rock) type of music was dominating.

There were so many names to reflect this era, merely from Malaysian local act and mostly those international big names in the whole music business. With it came along the most fearful thread, the western culture. Music was seen as the most powerful influence to spread the western culture. For most of us, music - in particular rock music – is some kind of pollution to whatever customs that we had, especially for the Malays. Also, I was too young to really view this as a thread. I never thought of how the outside world when its shows its true color.

Then, on the age of 13, I start to dig much deeper on music. I started to know names such as Nirvana, Weezer, Green Day – just to name a few. On the same time, at school we were thought about halal (…) and haram (forbidden/prohibited) and music is one of the effected subject. I began to understand. I agree and I could see the fact that western music consists of the negative aspect that could impact our nature as a Muslims. Drugs, free sex, free-thinker, no faith in God and whatever terms that may cross our mind right now. I was young and little by little, I realize I was thinking. I took this thing seriously from that turning point.

As decent as I was, I am lucky that my parents sent me off to a boarding school in Sarawak, the huge land on our Borneo Island. There, I spent almost eight years of my life living in which I describe as more open society. I had grown up with the surrounding where Islam was not the only religion. There was Christian, Buddha and Baha’i which share the day to day living. The sub-culture of the Sarawak origin also taught me the values which were impossible for me to gain if I was fated to stay in Peninsular.

I saw that in this type of environment, each of the sub-religion can easily and openly influence the other. I mean, if we are afraid of the Christianity taught might have an impact on our Islam’s believe, I came to realize that we cannot point a finger to the other parties. We should strengthen our religious believe and practice toward Islam, in order to defend our faith - not by putting a blame on someone else. With the same idea here, we can look into the challenge on western music on our culture.

Honestly, on music, I never interested on the lifestyle that those rock bands promote. I do not see music as a medium of entertainment. I see it as a form of art. Art that can reflect the good and positive vibe of our life. Music can liberate people for goodness. It happens to be just because how we view it. I listen to music – rock music, I sing the song and I play music… my own music. But I never consume drugs; I never drink alcohol, never slept with a girl and never forget who I am. Why? It is because I respect my religious believe. I practice the taught, although not from every aspect. I lay my whole life to walk the line of Islam. I believe there was nothing wrong with music in any kind. The only source of insecurity feeling is from us, human.

I am 24. Now that I am frustrated on how things is going on, especially in Malaysia. Music equal to entertainment… and only entertainment! There is less conscious of those who so called modern artiste wannabe on the responsibility that should be hold by music. We felt on the west definition of music. Listening to current music I felt hopeless and soulless…

For us to understand our surrounding, we should first understand ourselves. It seems that music has drown our integrity as a highly regard society. If we just let this to happen, it will ruin our future as a respectable community in this society. Music seems to left damage on us. Music now is some form of lifestyle. It seldom contains those valuable thought which suppose to reshape the listener’s awareness. More and more people are into music now, but they tend to get lost.

My father has slowdown himself for music now. I derive the rock soul from him. But for me music is for good. I don’t give a damn on what trend is exploding in the music industry nowadays. I am only the observer, and I gain only the best for me. I would share it with anyone who really wants it… or feel the same like I do. A good Muslim will always obey to what Islam taught his people. They know the boundaries of ‘just enough’ and ‘too much’. Where are you standing now?

-16th August 2006, pantai dalam.

Wednesday, August 09, 2006

“Kita mesti jual…”

Oleh: Hazril Hafiz (8 Ogos 2006 ; 10:53pm)

Saya sudah dua kali menghadiri temuduga sebagai penulis di dua buah syarikat penerbitan terbesar negara. Penulis kerana saya suka menggunakan perlambangan sebegitu. Rasminya, jawatan itu mereka rujuk sebagai wartawan. Saya tidak suka! Wartawan bagi saya, dalam konteks industri penerbitan di Malaysia… hampas. Mereka hanya tahu melaporkan berita semata-mata, tiada gaya, tiada luahan tulen… dan yang mengecewakan saya adalah kebanyakan mereka ini haprak.

Saya tidak pernah cuba untuk memahami situasi ini. Lihat saja gaya penulisan mereka, tidak banyak yang mengunjurkan keutuhan pandangan yang tersendiri. Daripada membaca laporan harian di dada akhbar harian, saya lebih senang membaca kolum Mazlan Nordin (Tan Sri) - salah seorang penulis / wartawan / pemikir angkatan lama – di Mingguan Malaysia setiap Ahad.

Sehinggalah saya berpeluang untuk mengikuti proses temuduga tersebut, setelah habis dan saya merenung kembali, saya sedikit sebayak mendapat jawapan untuk soalan saya sendiri ini. Masih jelas dalam memori saya, satu pagi dalam tahun 2005, saya hadirkan diri di syarikat yang terletak di sekitar Maluri ini. Permulaan hari yang menarik… niat saya, jika ada rezeki di sana elok juga sebagai kesinambungan kareer. Calon yang hadir ada dalam 15 orang pagi itu.

Penilaian agak ketat juga. Kami diarah untuk melalui tiga (3) ujian kalau tak silap. Soal jawab sidang media, terjemahan teks dan mengarang. Saya sungguh-sungguh terasa lucu mengenangkan diri saya sendiri yang telah melalui sesi tersebut. Sebagai seorang yang sedikit sebanyak telah ada asas journalism versi sendiri, saya terasa bosan. Bosan dengan tahap keseriusan – yang kononnya perlu – bagi kami yang masih baru. Seolah-olah sudah ada acuan yang diberi dan kami perlu mengikut saja tanpa perlu banyak soal. Segala aspek, melapor, mengarang… semuanya tipikal. Seminit itu saya rasakan tiada ruang untuk saya berkreatif! Ajaib dan kurnia! Saya lulus kesemua ujian itu tanpa banyak masalah.

Tambah menghiburkan ketika sesi temuduga. Saya difahamkan yang mereka-mereka ini – lima (5) orang semuanya - antaranya ialah pengurus besar atau ketua pengarang pelbagai penerbitan di bawah syarikat tersebut. Saat ini sememangnya saya menyampah. Padangan saya, untuk penerbitan besar seperti ini, kami akan di asak dengan soalan yang mampu menggoyah integriti dan pengetahuan… juga kemampuan berfikir dan berhujah. Saya menjangkakan setidak-tidaknya akan ada soalan berkaitan isu-isu semasa dunia. Tahu apa yang mereka soal?

Penemuduga: Sepanjang kamu terlibat dengan dunia hiburan ini (satu lagi terma yang saya tidak suka dikaitkan dengan saya!), siapa artis wanita yang paling cantik kamu rasa?

Hazril: Sepanjang saya menulis, saya tidak pernah ambil kisah secara serius tentang itu.

Penemuduga: Alah, takkan tak ada yang kamu rasa cantik.
(Saya mula rasa menyampah dan menjawab dengan tuli…)

Hazril: Dayang… Siti… (mungkin itu yang mereka ingin dengar…)

Di atas meja mereka, saya sogok dengan majalah ROTTW ini. Ada yang tak pernah tahu dengan kewujudan majalah ini pun. Reaksi mereka bersungguh-sungguh. Membelek setiap muka dari awal. Ada juga yang kagum. Kebanyakkan masa habis untuk saya menjelaskan tentang perihal ROTTW. Satu soalan yang saya masih ingat:

Penemuduga: Apa yang cuba kamu lakukan dengan majalah ini?

Hazril: Kami cuba membuat counterculture terhadap khalayak pembaca. (Ini pandangan peribadi saya saja, bukan mewakili pendirian ROTTW ya..)

Jawab saya ringkas, disusuli dengan hebahan idea yang sedikit menggugat peluang saya untuk diterima bekerja di situ! Saya secara terbuka mengkritik cara penulisan di dalam penerbitan arus perdana, yang antaranya turut melibatkan penerbitan mereka. Saya sama sekali tidak setuju dengan cara mengetengahkan berita-berita picisan, gosip dan sensasi secara berlebihan untuk meraih untung semata-mata. Jawapan mereka, “Kita buat bisnes, mesti kena fikir untuk… produk kita mesti kena jual, baru boleh hidup.” Hah! Meluat saya mendengarkan tafsiran mereka-mereka ini.

Pada ketika itu, riak wajah saya sudah berkerut. Situasi juga seingat saya semakin tegang. Saya mengambil keputusan untuk menamatkan sesi temuduga tersebut. Dengan senyum sinis saya bingkas bangun dari tempat duduk dan terus ke arah meja panjang panel-panel tersebut… ada dalam empat lima meter di hadapan saya.

Saya mengambil semula fail sijil dan juga naskah-naskah majalah ROTTW tadi dan beredar dari situ. Keputusannya… saya tidak diterima bekerja dengan mereka… tetapi pada masa yang sama saya juga tidak menyesal.

Saya belum habis di sini. Pengalaman temuduga kedua lebih panas. Saya akan kupaskan untuk dikongsi bersama pada keluaran hadapan. Saya juga akan membuat kesimpulan yang mana merupakan niat sebenar saya menulis makalah ini. Ketika ini idea saya sedikit beku dek lagu-lagu dari Arch Enemy, album Anthems Of Rebellion (tumpuan terarah kepada lagu-lagu ini sebenarnya…)