Monday, March 17, 2008

pru12 dan kehampaan

'Kehampaan' telah membayar harga yang tinggi ketika PRU12 yang baru selesai. Mungkin itulah tempat bermulanya sumbu kepada peralihan drastik keputusan pilihanraya yang rata-ratanya tidak terduga kemenangan yang begitu bergaya oleh pakatan pembangkang sendiri, apa lagi BN.

Rasa hampa kepada BN yang lama-kelamaan semakin tumbuh segar dan menular mengatasi batas waktu, kaum, tempat dan seterusnya mencetus gejolak semangat yang luar biasa dikalangan kelompok umum.

Di sini, kita harus faham sekarang - walaupun bukan faktor sempurna dan solid - bahawa keangkuhan BN dan teori kongkongan media keseluruhannya yang diamalkan selama ini memberi penunjuk yang cukup keras juga kepada mereka sendiri. Peel golongan ini yang gemar meludah ke langit tinggi dengan bongkak yang ketika ini sudah terkedu, air ludah itu sudah jatuh pada muka sendiri.

Ramai orang yang loya dengan paparan media yang dikuasai. Baik tv, suratkhabar dan sebagainya, tanpa sedar BN selama ini menginjak kehormatan individu ini dengan layanan yang terlalu rendah. Ataupun, mereka sebetulnya tahu. Tetapi masih mahu meyakini dengan metod lapuk ini ia akan mampu memberi kesan seperti yang diharapkan.

BN meletakkan tahap yang begitu hina untuk dipersembahkan kepada umum, segala apa jua perkaranya. Paparan medianya pada satu peringkat menjadi sungguh tidak boleh diterima akal oleh orang kebanyakan. Sampai begitu sekali anggapan mereka yang masyarakat umum terlalu kolot dan mahu percaya ceritera media utama.

BN tidak yakin yang alam siber mampu membentuk gelora baru informasi. Mereka mungkin betul dengan pertimbangan itu. Tetapi orang tak selamanya akan setia - jika ditipu, andai selalu diperlekeh. Sabar orang ada batas dan untuk itu, gelora pemilih seperti yang disaksikan Sabtu 8 Mac itu mula garang.

BN boleh terus dengan pendekatan mereka. Namun, zaman berubah, masyarakat menjadi makin kompleks dan penipuan cara lama akan cepat dikesan kini. Media utama tidak selalu menjadi sahih. Orang sudah bosan.

-12 mac 2008

bila bercakap

Yang bercakap tidak pernah lebih baik daripada yang mendengar. Seperti mana yang mendengar tidak dapat memahami bicara, seperti itu juga yang bercakap gagal berkomunikasi dengan fragmentasi hubungan yang berkesan. Ilmu atau pengetahuan yang baik harus dapat ditransportasi dengan indah bersandarkan alas bahasa sebagai perantara paling universal. Celaka ilmu itu kalau hanya mampu menyuntik rasa angkuh dalam diri yang bercakap. Jadi sekarang, bagaimana harus jurang ini dirapatkan?
.
-17 mac 2008

Thursday, March 13, 2008

wira

Wira Melayu ini - Abdullah Ahmad Badawi - hari ini menemplak Ketua Menteri Pulau Pinang seperti yang dilaporkan muka depan Utusan Malaysia 13 Mac 2008 (sumber Bernama). Dia dilaporkan berkata, antara lainnya seperti berikut:

1. “Saya ingin bertanya kepada DAP, kaum manakah yang telah menjadi lebih miskin kerana DEB?"
2. “Saya ingin juga memberi peringatan kepada kerajaan negeri Pulau Pinang supaya jangan menimbulkan keadaan di mana ketegangan antara kaum boleh berlaku,” tegas Abdullah yang juga Ketua Badan Perhubungan UMNO Pulau Pinang."
3. “Jangan pinggirkan orang Melayu dan kumpulan minoriti seperti orang India."
4. “Saya ingin bertanya kepada Ketua Menteri, Lim Guan Eng, apakah rancangan DAP untuk membantu orang Melayu,” katanya.

Yang dirujuk Abdullah ialah kenyataan Lim Guan Eng selepas mengangkat sumpah sebagai Ketua Menteri Pulau Pinang pada 11 Mac. Ia dilaporkan begini;

"Lim, selepas mengangkat sumpah jawatan sebagai Ketua Menteri Pulau Pinang semalam, memberitahu pemberita bahawa kerajaan negeri pimpinan DAP itu tidak akan mengamalkan Dasar Ekonomi Baru (DEB)."

"Lim juga berkata DEB, yang diperkenalkan pada 1971 selepas rusuhan kaum 13 Mei 1969 untuk membasmi kemiskinan dan menyusun semula masyarakat, merupakan punca kepada “kronisme, rasuah dan ketidakcekapan.”

Saya kira, yang berbau perkauman sebenarnya ialah Abdullah Badawi, bukannya Lim - atau itu yang jelas saya fahami daripada laporan media rasmi BN ini.

Hanya dalam kenyataan Abdullah saja yang kedengaran ada nama kaum dicanang, sementara Lim hanya mahukan pengurusan yang lebih telus dan adil kepada semua - bagi projek2 kerajaan negeri - tanpa menyebut mana-mana kaum. Jika Melayu tak mahu terlepas dari peluang sedemikian, jadi lebih progresif dan berdaya saing.

Dan, sebagai seorang warga yang prihatin kononnya, saya lebih tenang jika Abdullah sendiri menggantikan kata 'Melayu' kepada 'rakyat' dalam kenyataannya (nombor 4) selaku Perdana Menteri Malaysia yang mewakili semua warga di negara ini. Dia tidak faham semua ini, saya tahu. Dia terkepung dengan halusinasi simptom pemikiran pos-kolonial agaknya.

13 mac 2008

Tuesday, March 04, 2008

…saya tak bisa jadi atheis

Saya suka bicara GM dan wakil majalah Madina ini. Artikel ini saya dapati dari blog dedikasi GM, Catatan Pinggir. Perhatikan persolan dan jawapan yang dibentangkan di dalamnya. Paling enak dan asyik ialah respon Mas Goen ini berkait perihal puisi dan sajak. Baca hendaknya...

…Saya Tak Bisa Jadi Atheis
Bicara dengan Goenawan Mohamad selalu menarik. Penyair, esais, dan salah seorang pendiri kelompok Tempo ini terlibat aktif melawan rezim Soeharto di senjakala Orde Baru pada akhir 1990-an.

Belakangan, ia cukup mengejutkan dengan buku kecilnya, Tuhan & Hal-hal Yang Tak Selesai, 99 percikan permenungan yang bersumbu pada soal-soal keagamaan. Ia juga kritis terhadap kaum Atheis “fiundamentalis” yang sedang laris saat ini, seperti Richard Dawkins, Sam Harris, Christoper Hitchens. “Saya terutama mengkritik kepongahan mereka,” katanya.

Pada Jumat sore, 25 Januari 2008, redaktur Madina Ihsan Ali-Fauzi dan Hikmat Darmawan bercakap-cakap dengan Goenawan Mohamad di Bakoel Coffie Cikini, tentang Tuhan para penyair, Rumi, perang agama, dan Reformasi yang tak menjanjikan apa-apa. Berikut, ringkasan percakapan itu (versi lengkapnya, bisa diakses di situs Madina.com).

MADINA (M): Sebagai penyair, bagaimana Anda memandang pergumulan seorang penyair dengan Tuhan; apakah juga sama dengan pergumulan seorang penyair dengan teks?
Goenawan Mohamad (GM): Saya kira, kita tahu bahwa Tuhan datang ke kesadaran kita itu sebagai teks, melalui teks. Tuhan sendiri itu kan tidak pernah kita ketahui, yang kita ketahui selalu teks tentang Tuhan. Teks tidak berarti medium dalam bentuk tertulis. Tetapi teks dalam arti mediasi antara kita dan Tuhan itu sendiri, juga kesadaran kita tentang Dia. Jadi, setiap orang, baik penyair maupun bukan, selamanya bergulat dengan Tuhan adalah melalui teks.
.
M: Tapi, seberapa beda antara penyair dengan yang lain dalam menghayati teks itu?
GM: Saya kira, kalau ada bedanya, adalah kepekaan pada metafor. Para penyair lebih peka karena biasa berbicara dengan bahasa metafor. Bukan itu saja, karena para penyair sadar bahwa bahasa pada dasarnya adalah metafor, maka teks yang masuk dalam kitab suci maupun yang di luar itu, selalu berlaku sebagai metafor.Ciri metafor adalah, pertama, dia mengatakan sesuatu yang lain, dari yang dimaksud. Maksud saya, bukan dia selingkuh atau menyeleweng dari yang dimaksud, tapi karena beberapa pengertian itu tidak bisa disampaikan dalam bentuk konsep. Misalnya, (kalimat) “negara membangun infrastruktur”. “Membangun” itu kan metafor, dari kata “bangun”. Dan “Negara” kan tidak bisa “membangun”.Apalagi mengenai hal-hal yang lahir dari pengalaman yang intens, seperti pengalaman religius. Dalam hal itu, konsep tidak berdaya. Konsep itu berdaya untuk menguasai sesuatu yang disebut kenyataan… Konsep terutama berguna untuk apa yang disebut akal instrumental. Akal instrumental itu (adalah) bagaimana kita memecahkan persoalan, semisal bagaimana kita memecahkan problem managemen atau problem teknologi. Seorang filsuf Prancis, Gabriel Marcel berbicara tentang dua hal yang kita hadapi. Pertama adalah “problem”. Ini berasal dari bahasa Yunani, yang artinya ”dilemparkan ke hadapan kita” – sesuatu yang untuk diterobos. Satu lagi adalah “misteri”. Itu tidak di depan kita, tapi itu melliputi kita. Dalam menghadapi problem, kita menggunakan konsep. Di dalam misteri, kita lebih mampu menggunakan metafor. Metafor bukan memecahkan misteri seluruhnya.

M: Tapi kalau tidak untuk menguasai, untuk apa?
GM: Menguasai itu dalam arti merumuskan. Kalau puisi dan metafor kan tidak merumuskan. Misalnya, kata-kata cinta dalam sajak Rumi, kan itu tidak ada rumusnya. Cinta hanya kita alami. Jika kita kemukakan dalam kata-kata, kita hanya menangkapya sebatas yang mungkin diungkapkan kata-kata.

M: Jadi, iman sebagai pengalaman?
GM: Ya, iman sebagai pengalaman dan iman sebagai bukan kepastian. Karena itu dalam ceramah di Freedom (Institute) mengenai Atheisme, saya katakan, ‘Tuhan saya adalah Tuhan penyair; bukan Tuhan sebagai kepastian, tapi Tuhan sebagai harapan.’
.
M: Dan di situlah metafor bekerja?
GM: Ya, dan konsekuensinya tidak hanya bahasa, tapi juga sikap menghadapi Tuhan, sikap menghadapi sesama. Karena kalau kita menghadapi Tuhan dan sesama tidak sebagai konsep, kita akan lebih rendah hati. Seorang filsuf, Jean-Luc Marion, pernah mengatakan ada “pemberhalaan konsep.” Kalau Tuhan kita rumuskan sebagai konsep, lalu kita sembah konsep itu, maka sebetulnya (kita) mereduksi Tuhan ke dalam sesuatu yang bisa didefinisikan, yang bisa dinamai… Sedang sikap menghadapi Tuhan itu berbeda bila kita lebih rendah hati bahwa kita tidak bisa menguasai pengertian tentang Tuhan. Itu yang saya sebut bagian “etika kedhaifan”, bahwa kita ini sebenarnya dhaif. Dan di situ, metafor mendapatkan tempatnya, dalam kedhaifan itu. Metafor tidak berpretensi menjelaskan semuanya, dan selesai dengan penjelasan yang ada itu.

M: Anda agaknya, belakangan ini, sedang dekat dengan agama atau Tuhan. Apa itu betul?
GM: (Tertawa) Saya ini tidak pernah amat jauh dari agama, tidak pernah dekat dari agama. Selalu berjarak. Mungkin waktu kecil lain, waktu kecil malah dulu lebih religius; saya kan sekolah madrasah juga, meskipun tidak ‘hebat’. Tapi sekarang ini, dalam banyak hal, agama itu mengecewakan. Tidak hanya Islam, tentu saja. Fundamentalisme Kristen di Amerika saat ini juga menakutkan. Misalnya, sikap mereka dalam menghadapi masalah Palestina, bukannya mencari perdamaian tapi mengojok-ojok ikut agar perang. Karena mereka percaya bahwa kalau perang terjadi di Timur Tengah, Armagedon akan terjadi, dan Yesus akan datang untuk Kebangkitan Kedua. Juga fundamentalisme Yahudi, yang menyebabkan sifat sekuler dan demokratis Israel jadi rusak, dan intoleransi menjadi-jadi, hingga terjadi pembunuhan terhadap Yitzhak Rabin, kebencian kepada orang Palestina. Fundamentalisme Hindu di India membakar masjid Ayodya, karena mengatakan bahwa itu dulu kuil Hanoman. Fudamentalisme Islam sama saja. Kalau itu yang terjadi, lalu agama untuk apa, selain mengukuhkan kebencian dan kekerasan?

M: The Economist, dalam sebuah laporan khususnya, juga bilang bahwa satu abad ke depan, akan terjadi perang agama baru dalam berbagai bentuknya….
GM: Sebetulnya yang disebut perang agama ini kan selamanya adalah perang dengan argumen agama. Perang ya perang saja. Seperti perang di Eropa yang 80 tahun itu. Itu perang antara kepentingan-kepentingan lokal dengan gereja Romawi. Sama dengan yang sekarang di Palestina. Palestina adalah tragedi paling dahsyat dalam abad 20, sampai sekarang. Dulu, Palestina dimulai dengan janji Marxisme yang akan membebaskan rakyat Palestina. Marxisme gagal. Kemudian, nasionalisme, PLO, gagal juga. Nah, sekarang Islam.
Problem timbul ketika agama, baik Yahudi mau pun Islam, dipakai untuk menjadi substitusi nasionalisme: seperti saya tulis dalam buku itu, ketika cita-cita tentang tanah yang dijanjikan itu menjadi eskatologi baru. Artinya, ada sikap menantikan surga baru yang dijanjikan. Makin kecewa, makin intens rindu surga itu. Maka segala hal ikut dikorbankan, dan mudah terjadi kekecewaan. Karena dunia tidak akan pernah jadi sorga, sehingga ada spiral kekecewaan dan kekerasan.

M: Kembali ke soal penghayatan agama secara pribadi. Kalau melihat sajak-sajak Anda dari muda itu dulu, ketika Anda menulis tentang penghayatan agama dalam tiga waktu, tentang pengalaman di gua Hira, hingga sekarang …bagaimana Anda menggambarkan perkembangan relasi Anda dan agama?
GM: Saya kira, saya tidak bisa jadi Atheis, tidak bisa tidak percaya akan adanya Tuhan. Dipaksa pun tidak bisa, untuk tidak percaya. Paling tidak, saya tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Karena bagi saya, Tuhan itu selalu hadir ketika ada perbuatan baik yang sangat besar, keikhlasan yang sangat tulus yang bisa memperbaiki keadaan biar pun sebentar. Ketika penderitaan begitu hebat, dan ada perbuatan baik, di situ Tuhan seakan hadir. Tuhan juga hadir ketika keindahan begitu mencekam, atau ketika orang bisa menghibur mereka yang putus asa dengan keburukan-keburukan yang terjadi. Jadi, itu menyebabkan saya percaya pada, katakanlah, kehadiran hidup. Tuhan yang hidup.Nah, dalam kehidupan agama zaman sekarang — seperti di zaman al-Ghazali di abad 11, dan itu ia sebut dalam otobiografinya — orang lebih pandai berbicara tentang hukum perceraian secara detail daripada menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup. Itu al-Ghazali setelah dia lebih ke arah sufi. Dan itu saya kira, semacam kemurungan hidup beriman – sesuatu yang dimulai dari pengalaman di gua Hira yang sendiri, miskin, ketakutan, rindu, kagum, tercengang. Sayangnya, kini hidup beriman berarti mendirikan mesjid yang berkubah emas, naik haji 17 kali, dan iman kembali direduksi jadi aturan-aturan.
.
M: Sebagai penyair, apakah Anda menangkap Rumi adalah salah satu model beragama yang khas?
GM: Saya tidak mengenal Rumi dengan baik. Saya hanya membaca-baca buku dalam bahasa Inggris. Rumi sekarang kan menjadi duta besar Islam di seluruh dunia yang paling efektif. Buku-bukunya itu best seller terus, justru sejak 11 September. Itu ada untungnya, ada tidaknya. Untungnya, Rumi menjadi semacam simbol yang dikaitkan dengan iman yang indah, cinta, dan damai. Bagus, saya rasa itu. Hanya saja, dalam iman itu juga ada kesakitan, kekurangan, kehampaan. Dan dalam hal itu, mungkin saya tidak terlalu ‘masuk’ dalam Rumi betul.
Namun, di dalam satu masa ketika agama menjadi bagian dari mekanisme kebencian, Rumi adalah alternatif yang baik. Rumi memberikan sesuatu yang dirindukan, wajah senyum agama, bukan wajah bersungut-sungut dan marah. Dan itu punya peran sendiri, dan itu bagus.Cuma bagi saya Rumi tidak cukup menggetarkan. Mungkin karena sudah terlalu banyak dirayakan.

M: Kalau penyair yang membuat Anda lebih tergetar dalam hal topik sejenis itu, ada tidak?
GM: Banyak sekali, ya. Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Rendra, Subagio Sastroardoyo, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain yang lebih muda sekarang — ketika mereka mengangkat topik religius. Juga meskipun tidak.Kan agama dan Tuhan itu tidak hanya waktu kita ngomong soal agama. Mungkin Tuhan malah sama sekali tidak disebut. Bahkan mungkin sikap religius yang terbagus adalah ketika Tuhan tidak disebut.

M: Dalam tatal ke-35 di Tuhan & Hal-hal yang Belum Selesai, Anda menceritakan semacam epifani pada suatu pagi, tentang hal-hal kecil yang tersingkir, yang dilupakan. Seolah-olah pada saat itu Anda menemukan bahwa revolusi itu seolah-olah berlawanan dengan hal-hal kecil dan tersisih itu. Agaknya itu yang membentuk pikiran atau sikap Anda selanjutnya ya?
GM: Saya kira betul, tapi bukan revolusi itu yang saya keluhkan, melainkan bahwa ada kecenderungan untuk memuja konsep besar, memuja narasi besar, dan membikin semuanya abstrak. Jangan lupa, waktu itu ideologi-ideologi besar kan bergumul, terutama di sekitar Marxisme. Dan itu yang menyebabkan saya merasa kok hal-hal kecil itu terlupakan. Mungkin karena saya menulis puisi, dan puisi saya tidak pernah ingin menggunakan konsep. Puisi saya bukan puisi ide, bukan puisi pernyataan, sehingga mungkin lebih mudah terseret ke dalam soal yang kecil-kecil.

M: Dan apakah itu mewarnai aktivisme Mas Goen setelah itu, baik sebagai wartawan mau pun sastrawan? Sepertinya, Anda mengembangkan perlawanan estetis?
GM: Kalau yang Anda maksud perlawanan terhadap Orde Baru, saya kira perlawanan saya bukanlah perlawanan estetis. Saya bekerja dengan anak-anak PRD dan lain-lain. Bagi saya, hidup tidak semuanya puisi. Ada penyair-penyair yang mungkin menganggap bahwa dengan puisi yang revolusioner, dia bisa mengubah dunia. Saya tidak percaya itu. Untuk mengubah dunia, Anda harus melakukan kegiatan revolusioner. Puisinya boleh bicara mengenai bulan, dan sebagainya. Kalau Anda baca puisi Ho Chi Minh, tidak ada kata-kata revolusi, ganyang Amerika, ganyang penjajahan. Mao Zedong juga tidak banyak membuat puisi yang begitu, tapi dia bekerja untuk revolusi. Saya menganggap mereka model yang baik, jadi kerja revolusi ya kerja revolusi, kerja politik ya kerja politik. Tapi jangan sampai menelan kamu seluruhnya. Juga, jangan kamu ditelan puisi seluruhnya. Selalu ada momen-momen yang saling menohok. Jangan satu hal pun menjadi total, karena diri kita sendiri tidak pernah total.

M: Sekarang sudah hampir 10 tahun reformasi. Bagaimana Anda memandang apa yang sedang terjadi kini?
GM: Sekarang ini berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Orde Baru. Sekarang ini bahkan presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Belum pernah dalam sejarah Indonesia, presiden dipilih rakyat langsung.

M: Tapi sudah 10 tahun, lho. Mulai banyak orang yang gelisah, bertanya-tanya apa yang dijanjikan oleh reformasi itu sekarang?
GM: Reformasi itu tidak menjanjikan. Reformasi adalah keinginan untuk memperbaiki selalu. Inilah baiknya demokrasi, yang bertolak dari kedhaifan. Demokrasi dimulai dari kekurangan. Pengakuan bahwa tidak ada sistem yang sempurna, tapi ada sistem yang selalu bisa diperbaiki dengan reguler dan damai. Demokrasi adalah mekanisme dari makhluk yang terbatas.Reformasi tidak melahirkan kesempurnaan. Reformasi hanya membuka jalan ke arah perbaikan yang teratur dan damai. Dan saya kira itu yang terjadi sekarang.

M: Apa tidak cemas akan terjadi kekecewaan, dan kemudian aksi kekerasan seperti kudeta?
GM: Harus cemas. Tapi kalau itu yang dicemaskan, bukan kita lalu mengeluhkan demokrasi. Jangan lupa, konstitusi kita ini tidak diberikan oleh seorang bapak di atas, tetapi diperjuangkan. Munir meninggal karena itu. Satu teman saya dari PRD, tidak pulang. Kalau kita mengeluh sekarang… Saya ingin menunjukkan atau memberikan gambaran yang lebih baik tentang keadaan kita. Coba pikirkan, dalam sejarah Indonesia dari zaman Majapahit, baru zaman ini begitu banyak orang dipenjara karena korupsi. Setelah demokrasi terpimpin, demokrasi Orde Baru, baru zaman ini orang punya pers bebas dan tidak usah pakai izin, sehingga di daerah-daerah dan di kampung-kampung bisa terbit. Di dalam sejarah Republik Indonesia, baru zaman ini walikota dan bupati dipilih langsung. Dan desentralisasi adalah revolusi diam-diam dari Republik. Republik ini berubah, tapi orang tidak sadar kalau itu perubahan besar. Kalau dibilang 10 tahun itu tidak menghasilkan, itu tidak benar.

M: Barangkali perlu ada lebih banyak pembahasaan demikian, bahwa keadaan ini bisa dipandang sebagai lebih baik?
GM: Tetap perlu ada orang yang mengeluh.. Keadaan tidak akan sempurna, memang. Seperti sekarang, pemerintah salah dalam soal pangan atau kedelai. Mereka salah karena tidak antisipasi. Tapi menyalahkan SBY sepenuhnya? Tidak bisa. Waktu zaman Soeharto, RRC belum tumbuh perekonomiannya. Juga India. Begitu Orde Baru jatuh, RRC menjadi negeri kapitalis yang besar. Kapitalis dengan cara mereka, tentu saja. Bukan hanya itu. karena jumlah penduduknya yang begitu besar, mereka bisa membikin suatu produksi berdasarkan ekonomi berskala besar. Misalnya, bikin sepeda untuk pasar RRC bisa 40 juta buah, dan itu kembali modal. Sisanya, bisa dijual murah.Dengan kata lain, Indonesia yang sekarang masuk dalam satu arena yang berbeda, tidak bisa dibandingkan. Bayangkan, soal kedelai, misalnya: 70% dari kebutuhan RRC diimpor, dan itu negeri yang 5000 tahun yang lalu sudah menanam kedelai. Mau tak mau, harga di pasar dunia naik.Tapi tak berarti kita tidak salah. Sebab, Brazil bisa melakukan yang berbeda sama sekali, juga Argentina. Mereka jadi pengeskpor kedelai terbesar, mungkin setelah Amerika, mungkin juga lebih dari Amerika, mungkin hampir sama. Nah, kita kalah.

M: Jadi, dengan segala kesadaran akan sistem yang berangkat dari kedhaifan ini, apa yang tepatnya perlu dilakukan untuk Indonesia sekarang?
GM: Saya berkiblat pada Cak Nur saja, sewaktu ditanya: perbaikan harus dimulai dari mana? Jawab Caku Nur: dari mana saja. Saya kira betul. Kalau kita mikir dari-mana-dari-mana-nya, pasti kita tidak akan mulai sama sekali. Saya melakukan sesuatu di kesenian, Anda di pemikiran agama atau penerbitan. Yang tidak melakukan apa-apa …Majelis Ulama (tertawa). Nah, kalau bisa mengubah keadaan dengan cara radikal boleh saja. Tapi kalau harus menunggu perubahan radikal, lalu kita tidak melakukan hal-hal yang kecil, itu menurut saya salah.
Ada lagi yang bisa dilakukan. Waktu kami dulu melawan Soeharto, kita tidak ada pikiran bahwa dia akan jatuh tahun 1998. Tempo dibredel pada 1994. Saya mulai bergabung dengan gerakan tahun 1995. Kami berpikir, 20 tahun lagi rezim ini akan bertahan, barulah akan jatuh, mungkin juga tidak jatuh. Jadi? Ada dua pedoman kami dalam berjuang. Pertama, dari Arief Budiman: you fight and have fun. Kalau kalah, kamu masih punya fun. Perlu ada ironi, ada jarak juga terhadap perjuangan. Yang kedua, ada ilham yang kami dapat dapat dari kalangan HAM di dunia. Semboyannya begini, “jangan kutuk kegelapan, nyalakan lilin”.
---

Sekarang, bangsa Indonesia mengeluhkan kegelapan. Tapi, mana lilinmu? Dalam setiap perbuatan baik, ada maknanya. Seperti yang saya katakan tadi, ketika ada penderitaan atau kekurangan, kehadiran Tuhan terasa. Mungkin dunia tak akan berubah drastis (dengan perbuatan-perbuatan kecil itu). Tapi, dunia kan memang tidak pernah berubah drastis.
**
Majalah Madina, Edisi Februari 2008

Monday, March 03, 2008

intelektual masyarakat membangun (III)

Bebal dalam maksud asalnya bermaksud bodoh, malas dan keras kepala. Bebalisme pula walaupun masih membawa semangat yang sama, lebih cenderung kepada sikap kolektif seperti ketidaktahuan, bersenang-senang, lemah akal dan sebagainya. Ia pula bukanlah berdiri sebagai ‘takdir’, tetapi sebenarnya dirancakkan oleh sikap masyarakat itu sendiri. Ia juga tidak hadir sebagai satu ideologi.

Beliau menjelaskan secara terperinci tentang golongan ini, yang katanya lebih mudah untuk menular di dalam masyarakat membangun. Tiga ekstrak pengamatan utama beliau ke atas golongan ini; pertama – ‘bebalisme mempunyai ciri atau sifat mengharapkan orang lain percaya kepada apa yang dikemukakannya tanpa memberi alasan atau penjelasan apabila merujuk kepada pokok permasalahan yang berada di luar jangkauan penerimaan biasa’. Kedua, bebalisme ‘tidak mempunyai kecintaan kepada hujah yang tertib dan rasional serta tidak menaruh penghargaan kepadanya’. Terakhir ialah ‘bebalisme tidak mempunyai kemampuan untuk menilai masalah secara kontekstual, mendalam dan sinambung – tidak dapat melihat hutan kerana pohon-pohonnya.’

Meneliti pemerhatian dan penghujahan beliau di dalam bab-bab awal ini sudah cukup terang hamparan masalah yang mahu diketengahkan dan sekaligus terkandung kekecewaan yang dalam penulisnya. Di dalam bab lain, beliau banyak menghuraikan lagi peranan-peranan, ciri serta fungsi intelektual ini. Ia berkisar kepada permasalahan yang sama tetapi yang paling utama adalah bagaimana untuk berdepan dan menawarkan penyelesaian kepada persoalan yang dilontarkan.

Selepas 31 tahun ia ditulis, kelibat individu yang seperti digambarkan masih lagi kelihatan. Golongan professional yang tumpul pemikiran, suasana debat parlimen yang mengarut dan tidak teratur langsung, mahasiswa yang lemah intelek, pegawai kerajaan yang tiada fungsi di dalam masyarakat melainkan hanya sebagai pekerja kerajaan yang tiada daya saing dan sebagainya. Kini, cabaran dan permasalahan yang dibangkitkan dalam buku ini semakin getir kerana masyarakat yang ada hari ini masih lagi mahu berada ditakuk lama dan terus mendabik dada dan berbangga dengan keadaan ini – selepas 31 tahun!

Saya sendiri, sebagai seorang individu dari corong waktu yang berbeza dari beliau berasa sungguh kerugian kerana tidak berkesempatan menghayati dan bergelumang dengan kerja-kerja ilmiah seperti ini lebih awal. Seharusnya juga ko-kurikulum di universiti dulu turut menyelitkan teks ini untuk dikaji dan dibahaskan oleh pelajar. Saya akan lebih menghargai ijazah yang diraih jika saya mampu untuk melihat perkara ini dalam silibus rasmi pengajian.

Beberapa teman yang lain – juga produk universiti pasca-milenium – turut sama terkapai-kapai mahu memahami konteks yang dibicarakan oleh Syed Hussein Alatas ini. Antara mereka yang saya agihkan salinan buku ini merasakan ia sesuatu yang berat untuk dihadam dan ditekuni. Ada juga yang mampu melihat permasalahannya, tetapi tidak mampu untuk merefleksi diri sendiri dan terus mencari salah orang lain. Saya kira, golongan muda hari ini tidak boleh lagi berpeluk tubuh berulit dengan ketololan yang diprogramkan. Teks ini tidak boleh lagi dipandang sepi dan momentum idea yang terkandung seharusnya dipanjangkan lagi. Paling penting, teks ini tidak patut dilupa, dilenyapkan atau dipandang enteng.

Dari satu sisi, jika teks seperti ini mampu dibahaskan oleh lepasan universiti – walaupun tahap teks ini tidak segah mana - dan dibaca, difikirkan serta diperhalusi oleh banyak lagi golongan, mungkin tidak ada lagi individu yang akan mengeluarkan komentar seperti yang pernah kita dengari daripada Zainuddin Maidin ketika ditemubual oleh stesen Al-Jazeera ketika kemuncak ‘Gelombang Kuning’ November tahun lalu.

Juga moga tiada lagi cadangan-cadangan mundur seperti yang terbaru diajukan oleh Pusat Perkembangan Kurikulum (PPK) Kementerian Pelajaran Malaysia yang mahu menggantikan kerja-kerja Sasterawan Negara (SN) dengan karangan cinta picisan oleh Ahadiat Akashah, Sharifah Abu Salem dan Mohamad Yazid Abdul Majid untuk silibus komponen Sastera Dalam Mata Pelajaran Bahasa Melayu (Komsas) sekolah menengah.

Saya mencoretkan cebisan ini dipetang 23 Januari 2008 sebagai tanda ingatan sempena ulang tahun pertama kembalinya almarhum Syed Hussein Alatas menemui Penciptanya. Semoga akan lebih ramai yang ‘mahu’ berperanan sebagai intelektual masyarakat membangun di Malaysia.
- END-