Tuesday, March 04, 2008

…saya tak bisa jadi atheis

Saya suka bicara GM dan wakil majalah Madina ini. Artikel ini saya dapati dari blog dedikasi GM, Catatan Pinggir. Perhatikan persolan dan jawapan yang dibentangkan di dalamnya. Paling enak dan asyik ialah respon Mas Goen ini berkait perihal puisi dan sajak. Baca hendaknya...

…Saya Tak Bisa Jadi Atheis
Bicara dengan Goenawan Mohamad selalu menarik. Penyair, esais, dan salah seorang pendiri kelompok Tempo ini terlibat aktif melawan rezim Soeharto di senjakala Orde Baru pada akhir 1990-an.

Belakangan, ia cukup mengejutkan dengan buku kecilnya, Tuhan & Hal-hal Yang Tak Selesai, 99 percikan permenungan yang bersumbu pada soal-soal keagamaan. Ia juga kritis terhadap kaum Atheis “fiundamentalis” yang sedang laris saat ini, seperti Richard Dawkins, Sam Harris, Christoper Hitchens. “Saya terutama mengkritik kepongahan mereka,” katanya.

Pada Jumat sore, 25 Januari 2008, redaktur Madina Ihsan Ali-Fauzi dan Hikmat Darmawan bercakap-cakap dengan Goenawan Mohamad di Bakoel Coffie Cikini, tentang Tuhan para penyair, Rumi, perang agama, dan Reformasi yang tak menjanjikan apa-apa. Berikut, ringkasan percakapan itu (versi lengkapnya, bisa diakses di situs Madina.com).

MADINA (M): Sebagai penyair, bagaimana Anda memandang pergumulan seorang penyair dengan Tuhan; apakah juga sama dengan pergumulan seorang penyair dengan teks?
Goenawan Mohamad (GM): Saya kira, kita tahu bahwa Tuhan datang ke kesadaran kita itu sebagai teks, melalui teks. Tuhan sendiri itu kan tidak pernah kita ketahui, yang kita ketahui selalu teks tentang Tuhan. Teks tidak berarti medium dalam bentuk tertulis. Tetapi teks dalam arti mediasi antara kita dan Tuhan itu sendiri, juga kesadaran kita tentang Dia. Jadi, setiap orang, baik penyair maupun bukan, selamanya bergulat dengan Tuhan adalah melalui teks.
.
M: Tapi, seberapa beda antara penyair dengan yang lain dalam menghayati teks itu?
GM: Saya kira, kalau ada bedanya, adalah kepekaan pada metafor. Para penyair lebih peka karena biasa berbicara dengan bahasa metafor. Bukan itu saja, karena para penyair sadar bahwa bahasa pada dasarnya adalah metafor, maka teks yang masuk dalam kitab suci maupun yang di luar itu, selalu berlaku sebagai metafor.Ciri metafor adalah, pertama, dia mengatakan sesuatu yang lain, dari yang dimaksud. Maksud saya, bukan dia selingkuh atau menyeleweng dari yang dimaksud, tapi karena beberapa pengertian itu tidak bisa disampaikan dalam bentuk konsep. Misalnya, (kalimat) “negara membangun infrastruktur”. “Membangun” itu kan metafor, dari kata “bangun”. Dan “Negara” kan tidak bisa “membangun”.Apalagi mengenai hal-hal yang lahir dari pengalaman yang intens, seperti pengalaman religius. Dalam hal itu, konsep tidak berdaya. Konsep itu berdaya untuk menguasai sesuatu yang disebut kenyataan… Konsep terutama berguna untuk apa yang disebut akal instrumental. Akal instrumental itu (adalah) bagaimana kita memecahkan persoalan, semisal bagaimana kita memecahkan problem managemen atau problem teknologi. Seorang filsuf Prancis, Gabriel Marcel berbicara tentang dua hal yang kita hadapi. Pertama adalah “problem”. Ini berasal dari bahasa Yunani, yang artinya ”dilemparkan ke hadapan kita” – sesuatu yang untuk diterobos. Satu lagi adalah “misteri”. Itu tidak di depan kita, tapi itu melliputi kita. Dalam menghadapi problem, kita menggunakan konsep. Di dalam misteri, kita lebih mampu menggunakan metafor. Metafor bukan memecahkan misteri seluruhnya.

M: Tapi kalau tidak untuk menguasai, untuk apa?
GM: Menguasai itu dalam arti merumuskan. Kalau puisi dan metafor kan tidak merumuskan. Misalnya, kata-kata cinta dalam sajak Rumi, kan itu tidak ada rumusnya. Cinta hanya kita alami. Jika kita kemukakan dalam kata-kata, kita hanya menangkapya sebatas yang mungkin diungkapkan kata-kata.

M: Jadi, iman sebagai pengalaman?
GM: Ya, iman sebagai pengalaman dan iman sebagai bukan kepastian. Karena itu dalam ceramah di Freedom (Institute) mengenai Atheisme, saya katakan, ‘Tuhan saya adalah Tuhan penyair; bukan Tuhan sebagai kepastian, tapi Tuhan sebagai harapan.’
.
M: Dan di situlah metafor bekerja?
GM: Ya, dan konsekuensinya tidak hanya bahasa, tapi juga sikap menghadapi Tuhan, sikap menghadapi sesama. Karena kalau kita menghadapi Tuhan dan sesama tidak sebagai konsep, kita akan lebih rendah hati. Seorang filsuf, Jean-Luc Marion, pernah mengatakan ada “pemberhalaan konsep.” Kalau Tuhan kita rumuskan sebagai konsep, lalu kita sembah konsep itu, maka sebetulnya (kita) mereduksi Tuhan ke dalam sesuatu yang bisa didefinisikan, yang bisa dinamai… Sedang sikap menghadapi Tuhan itu berbeda bila kita lebih rendah hati bahwa kita tidak bisa menguasai pengertian tentang Tuhan. Itu yang saya sebut bagian “etika kedhaifan”, bahwa kita ini sebenarnya dhaif. Dan di situ, metafor mendapatkan tempatnya, dalam kedhaifan itu. Metafor tidak berpretensi menjelaskan semuanya, dan selesai dengan penjelasan yang ada itu.

M: Anda agaknya, belakangan ini, sedang dekat dengan agama atau Tuhan. Apa itu betul?
GM: (Tertawa) Saya ini tidak pernah amat jauh dari agama, tidak pernah dekat dari agama. Selalu berjarak. Mungkin waktu kecil lain, waktu kecil malah dulu lebih religius; saya kan sekolah madrasah juga, meskipun tidak ‘hebat’. Tapi sekarang ini, dalam banyak hal, agama itu mengecewakan. Tidak hanya Islam, tentu saja. Fundamentalisme Kristen di Amerika saat ini juga menakutkan. Misalnya, sikap mereka dalam menghadapi masalah Palestina, bukannya mencari perdamaian tapi mengojok-ojok ikut agar perang. Karena mereka percaya bahwa kalau perang terjadi di Timur Tengah, Armagedon akan terjadi, dan Yesus akan datang untuk Kebangkitan Kedua. Juga fundamentalisme Yahudi, yang menyebabkan sifat sekuler dan demokratis Israel jadi rusak, dan intoleransi menjadi-jadi, hingga terjadi pembunuhan terhadap Yitzhak Rabin, kebencian kepada orang Palestina. Fundamentalisme Hindu di India membakar masjid Ayodya, karena mengatakan bahwa itu dulu kuil Hanoman. Fudamentalisme Islam sama saja. Kalau itu yang terjadi, lalu agama untuk apa, selain mengukuhkan kebencian dan kekerasan?

M: The Economist, dalam sebuah laporan khususnya, juga bilang bahwa satu abad ke depan, akan terjadi perang agama baru dalam berbagai bentuknya….
GM: Sebetulnya yang disebut perang agama ini kan selamanya adalah perang dengan argumen agama. Perang ya perang saja. Seperti perang di Eropa yang 80 tahun itu. Itu perang antara kepentingan-kepentingan lokal dengan gereja Romawi. Sama dengan yang sekarang di Palestina. Palestina adalah tragedi paling dahsyat dalam abad 20, sampai sekarang. Dulu, Palestina dimulai dengan janji Marxisme yang akan membebaskan rakyat Palestina. Marxisme gagal. Kemudian, nasionalisme, PLO, gagal juga. Nah, sekarang Islam.
Problem timbul ketika agama, baik Yahudi mau pun Islam, dipakai untuk menjadi substitusi nasionalisme: seperti saya tulis dalam buku itu, ketika cita-cita tentang tanah yang dijanjikan itu menjadi eskatologi baru. Artinya, ada sikap menantikan surga baru yang dijanjikan. Makin kecewa, makin intens rindu surga itu. Maka segala hal ikut dikorbankan, dan mudah terjadi kekecewaan. Karena dunia tidak akan pernah jadi sorga, sehingga ada spiral kekecewaan dan kekerasan.

M: Kembali ke soal penghayatan agama secara pribadi. Kalau melihat sajak-sajak Anda dari muda itu dulu, ketika Anda menulis tentang penghayatan agama dalam tiga waktu, tentang pengalaman di gua Hira, hingga sekarang …bagaimana Anda menggambarkan perkembangan relasi Anda dan agama?
GM: Saya kira, saya tidak bisa jadi Atheis, tidak bisa tidak percaya akan adanya Tuhan. Dipaksa pun tidak bisa, untuk tidak percaya. Paling tidak, saya tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Karena bagi saya, Tuhan itu selalu hadir ketika ada perbuatan baik yang sangat besar, keikhlasan yang sangat tulus yang bisa memperbaiki keadaan biar pun sebentar. Ketika penderitaan begitu hebat, dan ada perbuatan baik, di situ Tuhan seakan hadir. Tuhan juga hadir ketika keindahan begitu mencekam, atau ketika orang bisa menghibur mereka yang putus asa dengan keburukan-keburukan yang terjadi. Jadi, itu menyebabkan saya percaya pada, katakanlah, kehadiran hidup. Tuhan yang hidup.Nah, dalam kehidupan agama zaman sekarang — seperti di zaman al-Ghazali di abad 11, dan itu ia sebut dalam otobiografinya — orang lebih pandai berbicara tentang hukum perceraian secara detail daripada menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup. Itu al-Ghazali setelah dia lebih ke arah sufi. Dan itu saya kira, semacam kemurungan hidup beriman – sesuatu yang dimulai dari pengalaman di gua Hira yang sendiri, miskin, ketakutan, rindu, kagum, tercengang. Sayangnya, kini hidup beriman berarti mendirikan mesjid yang berkubah emas, naik haji 17 kali, dan iman kembali direduksi jadi aturan-aturan.
.
M: Sebagai penyair, apakah Anda menangkap Rumi adalah salah satu model beragama yang khas?
GM: Saya tidak mengenal Rumi dengan baik. Saya hanya membaca-baca buku dalam bahasa Inggris. Rumi sekarang kan menjadi duta besar Islam di seluruh dunia yang paling efektif. Buku-bukunya itu best seller terus, justru sejak 11 September. Itu ada untungnya, ada tidaknya. Untungnya, Rumi menjadi semacam simbol yang dikaitkan dengan iman yang indah, cinta, dan damai. Bagus, saya rasa itu. Hanya saja, dalam iman itu juga ada kesakitan, kekurangan, kehampaan. Dan dalam hal itu, mungkin saya tidak terlalu ‘masuk’ dalam Rumi betul.
Namun, di dalam satu masa ketika agama menjadi bagian dari mekanisme kebencian, Rumi adalah alternatif yang baik. Rumi memberikan sesuatu yang dirindukan, wajah senyum agama, bukan wajah bersungut-sungut dan marah. Dan itu punya peran sendiri, dan itu bagus.Cuma bagi saya Rumi tidak cukup menggetarkan. Mungkin karena sudah terlalu banyak dirayakan.

M: Kalau penyair yang membuat Anda lebih tergetar dalam hal topik sejenis itu, ada tidak?
GM: Banyak sekali, ya. Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Rendra, Subagio Sastroardoyo, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain yang lebih muda sekarang — ketika mereka mengangkat topik religius. Juga meskipun tidak.Kan agama dan Tuhan itu tidak hanya waktu kita ngomong soal agama. Mungkin Tuhan malah sama sekali tidak disebut. Bahkan mungkin sikap religius yang terbagus adalah ketika Tuhan tidak disebut.

M: Dalam tatal ke-35 di Tuhan & Hal-hal yang Belum Selesai, Anda menceritakan semacam epifani pada suatu pagi, tentang hal-hal kecil yang tersingkir, yang dilupakan. Seolah-olah pada saat itu Anda menemukan bahwa revolusi itu seolah-olah berlawanan dengan hal-hal kecil dan tersisih itu. Agaknya itu yang membentuk pikiran atau sikap Anda selanjutnya ya?
GM: Saya kira betul, tapi bukan revolusi itu yang saya keluhkan, melainkan bahwa ada kecenderungan untuk memuja konsep besar, memuja narasi besar, dan membikin semuanya abstrak. Jangan lupa, waktu itu ideologi-ideologi besar kan bergumul, terutama di sekitar Marxisme. Dan itu yang menyebabkan saya merasa kok hal-hal kecil itu terlupakan. Mungkin karena saya menulis puisi, dan puisi saya tidak pernah ingin menggunakan konsep. Puisi saya bukan puisi ide, bukan puisi pernyataan, sehingga mungkin lebih mudah terseret ke dalam soal yang kecil-kecil.

M: Dan apakah itu mewarnai aktivisme Mas Goen setelah itu, baik sebagai wartawan mau pun sastrawan? Sepertinya, Anda mengembangkan perlawanan estetis?
GM: Kalau yang Anda maksud perlawanan terhadap Orde Baru, saya kira perlawanan saya bukanlah perlawanan estetis. Saya bekerja dengan anak-anak PRD dan lain-lain. Bagi saya, hidup tidak semuanya puisi. Ada penyair-penyair yang mungkin menganggap bahwa dengan puisi yang revolusioner, dia bisa mengubah dunia. Saya tidak percaya itu. Untuk mengubah dunia, Anda harus melakukan kegiatan revolusioner. Puisinya boleh bicara mengenai bulan, dan sebagainya. Kalau Anda baca puisi Ho Chi Minh, tidak ada kata-kata revolusi, ganyang Amerika, ganyang penjajahan. Mao Zedong juga tidak banyak membuat puisi yang begitu, tapi dia bekerja untuk revolusi. Saya menganggap mereka model yang baik, jadi kerja revolusi ya kerja revolusi, kerja politik ya kerja politik. Tapi jangan sampai menelan kamu seluruhnya. Juga, jangan kamu ditelan puisi seluruhnya. Selalu ada momen-momen yang saling menohok. Jangan satu hal pun menjadi total, karena diri kita sendiri tidak pernah total.

M: Sekarang sudah hampir 10 tahun reformasi. Bagaimana Anda memandang apa yang sedang terjadi kini?
GM: Sekarang ini berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Orde Baru. Sekarang ini bahkan presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Belum pernah dalam sejarah Indonesia, presiden dipilih rakyat langsung.

M: Tapi sudah 10 tahun, lho. Mulai banyak orang yang gelisah, bertanya-tanya apa yang dijanjikan oleh reformasi itu sekarang?
GM: Reformasi itu tidak menjanjikan. Reformasi adalah keinginan untuk memperbaiki selalu. Inilah baiknya demokrasi, yang bertolak dari kedhaifan. Demokrasi dimulai dari kekurangan. Pengakuan bahwa tidak ada sistem yang sempurna, tapi ada sistem yang selalu bisa diperbaiki dengan reguler dan damai. Demokrasi adalah mekanisme dari makhluk yang terbatas.Reformasi tidak melahirkan kesempurnaan. Reformasi hanya membuka jalan ke arah perbaikan yang teratur dan damai. Dan saya kira itu yang terjadi sekarang.

M: Apa tidak cemas akan terjadi kekecewaan, dan kemudian aksi kekerasan seperti kudeta?
GM: Harus cemas. Tapi kalau itu yang dicemaskan, bukan kita lalu mengeluhkan demokrasi. Jangan lupa, konstitusi kita ini tidak diberikan oleh seorang bapak di atas, tetapi diperjuangkan. Munir meninggal karena itu. Satu teman saya dari PRD, tidak pulang. Kalau kita mengeluh sekarang… Saya ingin menunjukkan atau memberikan gambaran yang lebih baik tentang keadaan kita. Coba pikirkan, dalam sejarah Indonesia dari zaman Majapahit, baru zaman ini begitu banyak orang dipenjara karena korupsi. Setelah demokrasi terpimpin, demokrasi Orde Baru, baru zaman ini orang punya pers bebas dan tidak usah pakai izin, sehingga di daerah-daerah dan di kampung-kampung bisa terbit. Di dalam sejarah Republik Indonesia, baru zaman ini walikota dan bupati dipilih langsung. Dan desentralisasi adalah revolusi diam-diam dari Republik. Republik ini berubah, tapi orang tidak sadar kalau itu perubahan besar. Kalau dibilang 10 tahun itu tidak menghasilkan, itu tidak benar.

M: Barangkali perlu ada lebih banyak pembahasaan demikian, bahwa keadaan ini bisa dipandang sebagai lebih baik?
GM: Tetap perlu ada orang yang mengeluh.. Keadaan tidak akan sempurna, memang. Seperti sekarang, pemerintah salah dalam soal pangan atau kedelai. Mereka salah karena tidak antisipasi. Tapi menyalahkan SBY sepenuhnya? Tidak bisa. Waktu zaman Soeharto, RRC belum tumbuh perekonomiannya. Juga India. Begitu Orde Baru jatuh, RRC menjadi negeri kapitalis yang besar. Kapitalis dengan cara mereka, tentu saja. Bukan hanya itu. karena jumlah penduduknya yang begitu besar, mereka bisa membikin suatu produksi berdasarkan ekonomi berskala besar. Misalnya, bikin sepeda untuk pasar RRC bisa 40 juta buah, dan itu kembali modal. Sisanya, bisa dijual murah.Dengan kata lain, Indonesia yang sekarang masuk dalam satu arena yang berbeda, tidak bisa dibandingkan. Bayangkan, soal kedelai, misalnya: 70% dari kebutuhan RRC diimpor, dan itu negeri yang 5000 tahun yang lalu sudah menanam kedelai. Mau tak mau, harga di pasar dunia naik.Tapi tak berarti kita tidak salah. Sebab, Brazil bisa melakukan yang berbeda sama sekali, juga Argentina. Mereka jadi pengeskpor kedelai terbesar, mungkin setelah Amerika, mungkin juga lebih dari Amerika, mungkin hampir sama. Nah, kita kalah.

M: Jadi, dengan segala kesadaran akan sistem yang berangkat dari kedhaifan ini, apa yang tepatnya perlu dilakukan untuk Indonesia sekarang?
GM: Saya berkiblat pada Cak Nur saja, sewaktu ditanya: perbaikan harus dimulai dari mana? Jawab Caku Nur: dari mana saja. Saya kira betul. Kalau kita mikir dari-mana-dari-mana-nya, pasti kita tidak akan mulai sama sekali. Saya melakukan sesuatu di kesenian, Anda di pemikiran agama atau penerbitan. Yang tidak melakukan apa-apa …Majelis Ulama (tertawa). Nah, kalau bisa mengubah keadaan dengan cara radikal boleh saja. Tapi kalau harus menunggu perubahan radikal, lalu kita tidak melakukan hal-hal yang kecil, itu menurut saya salah.
Ada lagi yang bisa dilakukan. Waktu kami dulu melawan Soeharto, kita tidak ada pikiran bahwa dia akan jatuh tahun 1998. Tempo dibredel pada 1994. Saya mulai bergabung dengan gerakan tahun 1995. Kami berpikir, 20 tahun lagi rezim ini akan bertahan, barulah akan jatuh, mungkin juga tidak jatuh. Jadi? Ada dua pedoman kami dalam berjuang. Pertama, dari Arief Budiman: you fight and have fun. Kalau kalah, kamu masih punya fun. Perlu ada ironi, ada jarak juga terhadap perjuangan. Yang kedua, ada ilham yang kami dapat dapat dari kalangan HAM di dunia. Semboyannya begini, “jangan kutuk kegelapan, nyalakan lilin”.
---

Sekarang, bangsa Indonesia mengeluhkan kegelapan. Tapi, mana lilinmu? Dalam setiap perbuatan baik, ada maknanya. Seperti yang saya katakan tadi, ketika ada penderitaan atau kekurangan, kehadiran Tuhan terasa. Mungkin dunia tak akan berubah drastis (dengan perbuatan-perbuatan kecil itu). Tapi, dunia kan memang tidak pernah berubah drastis.
**
Majalah Madina, Edisi Februari 2008

2 comments:

Anonymous said...

http://iskandar56100.blogspot.com/2007/11/provokasi-dan-infiltrasi.html

Anonymous said...

List of racial discriminations in Malaysia, practiced by government as well as government agencies. This list is an open secret. Best verified by government itself because it got the statistics.

This list is not in the order of importance, that means the first one on the list is not the most important and the last one on the list does not mean least important.

This list is a common knowledge to a lot of Malaysians, especially those non-malays (Chinese, Ibans, Kadazans, Orang Asli, Tamils, etc) who were being racially discriminated.

Figures in this list are estimates only and please take it as a guide only. Government of Malaysia has the most correct figures. Is government of Malaysia too ashamed to publish their racist acts by publishing racial statistics?

This list cover a period of about 50 years since independence (1957).

List of racial discriminations (Malaysia):

(1) Out of all the 5 major banks, only one bank is multi-racial, the rest are controlled by malays

(2) 99% of Petronas directors are malays

(3) 3% of Petronas employees are Chinese

(4) 99% of 2000 Petronas gasoline stations are owned by malays

(5) 100% all contractors working under Petronas projects must be bumis status

(6) 0% of non-malay staffs is legally required in malay companies. But there must be 30% malay staffs in Chinese companies

(7) 5% of all new intake for government army, nurses, polices, is non-malays

(8) 2% is the present Chinese staff in Royal Malaysian Air Force (RMAF), drop from 40% in 1960

(9) 2% is the percentage of non-malay government servants in Putrajaya. But malays make up 98%

(10) 7% is the percentage of Chinese government servants in the whole government (in 2004), drop from 30% in 1960

(11) 95% of government contracts are given to malays

(12) 100% all business licensees are controlled by malay government e.g. Approved Permits, Taxi Permits, etc

(13) 80% of the Chinese rice millers in Kedah had to be sold to malay controlled Bernas in 1980s. Otherwise, life is make difficult for Chinese rice millers

(14) 100 big companies set up, managed and owned by Chinese Malaysians were taken over by government, and later managed by malays since 1970s e.g. MISC, UMBC, UTC, etc

(15) At least 10 Chinese owned bus companies (throughout Malaysia, throughout 40 years) had to be sold to MARA or other malay transport companies due to rejection by malay authority to Chinese application for bus routes and rejection for their application for new buses

(16) 2 Chinese taxi drivers were barred from driving in Johor Larkin bus station. There are about 30 taxi drivers and 3 are Chinese in October 2004. Spoiling taxi club properties was the reason given

(17) 0 non-malays are allowed to get shop lots in the new Muar bus station (November 2004)

(18) 8000 billion ringgit is the total amount the government channeled to malay pockets through ASB, ASN, MARA, privatisation of government agencies, Tabung Haji etc, through NEP over 34 years period

(19) 48 Chinese primary schools closed down since 1968 - 2000

(20) 144 Indian primary schools closed down since 1968 - 2000

(21) 2637 malay primary schools built since 1968 - 2000

(22) 2.5% is government budget for Chinese primary schools. Indian schools got only 1%, malay schools got 96.5%

(23) While a Chinese parent with RM1000 salary (monthly) cannot get school-text-book-loan, a malay parent with RM2000 salary is eligible

(24) 10 all public universities vice chancellors are malays

(25) 5% - the government universities lecturers of non-malay origins had been reduced from about 70% in 1965 to only 5% in 2004

(26) Only 5% is given to non-malays for government scholarships over 40 years

(27) 0 Chinese or Indians were sent to Japan and Korea under "Look East Policy"

(28) 128 STPM Chinese top students could not get into the course that they aspired e.g. Medicine (in 2004)

(29) 10% place for non-bumi students for MARA science schools beginning from year 2003, but only 7% are filled. Before that it was 100% malays

(30) 50 cases whereby Chinese and Indian Malaysians, are beaten up in the National Service program in 2003

(31) 25% is Malaysian Chinese population in 2004, drop from 45% in 1957

(32) 7% is the present Malaysian Indians population (2004), a drop from 12% in 1957

(33) 2 million Chinese Malaysians had emigrated to overseas since 40 years ago

(34) 0.5 million Indian Malaysians had emigrated to overseas

(35) 3 million Indonesians had migrated into Malaysia and became Malaysian citizens with bumis status

(36) 600000 are the Chinese and Indian Malaysians with red IC and were rejected repeatedly when applying for citizenship for 40 years. Perhaps 60% of them had already passed away due to old age. This shows racism of how easily Indonesians got their citizenship compare with the Chinese and Indians

(37) 5% - 15% discount for a malay to buy a house, regardless whether the malay is poor or rich

(38) 2% is what Chinese new villages get compare with 98% of what malay villages got for rural development budget

(39) 50 road names (at least) had been changed from Chinese names to other names

(40) 1 Dewan Gan Boon Leong (in Malacca) was altered to other name (e.g. Dewan Serbaguna or sort) when it was being officially used for a few days. Government try to shun Chinese names. This racism happened in around year 2000 or sort

(41) 0 churches/temples were built for each housing estate. But every housing estate got at least one mosque/surau built

(42) 3000 mosques/surau were built in all housing estates throughout Malaysia since 1970. No churches, no temples are required to be built in housing estates

(43) 1 Catholic church in Shah Alam took 20 years to apply to be constructed. But told by malay authority that it must look like a factory and not look like a church. Still not yet approved in 2004

(44) 1 publishing of Bible in Iban language banned (in 2002)

(45) 0 of the government TV stations (RTM1, RTM2, TV3) are directors of non-malay origins

(46) 30 government produced TV dramas and films always showed that the bad guys had Chinese face, and the good guys had malay face. You can check it out since 1970s. Recent years, this tendency becomes less

(47) 10 times, at least, malays (especially Umno) had threatened to massacre the Chinese Malaysians using May 13 since 1969

(48) 20 constituencies won by DAP would not get funds from the government to develop. Or these Chinese majority constituencies would be the last to be developed

(49) 100 constituencies (parliaments and states) had been racistly re-delineated so Chinese voters were diluted that Chinese candidates, particularly DAP candidates lost in election since 1970s

(50) Only 3 out of 12 human rights items are ratified by Malaysia government since 1960

(51) 0 - elimination of all forms of racial discrimination (UN Human Rights) is not ratified by Malaysia government since 1960s

(52) 20 reported cases whereby malay ambulance attendances treated Chinese patients inhumanely, and malay government hospital staffs purposely delay attending to Chinese patients in 2003. Unreported cases may be 200

(53) 50 cases each year whereby Chinese, especially Chinese youths being beaten up by malay youths in public places. We may check at police reports provided the police took the report, otherwise there will be no record

(54) 20 cases every year whereby Chinese drivers who accidentally knocked down malays were seriously assaulted or killed by malays

(55) 12% is what ASB/ASN got per annum while banks fixed deposit is only about 3.5% per annum

There are hundreds more racial discriminations in Malaysia to add to this list of "colossal" racism. It is hope that the victims of racism will write in to expose racism.

Malaysia government should publish statistics showing how much malays had benefited from the "special rights" of malays and at the same time tell the statistics of how much other minority races are being discriminated.

Hence, the responsibility lies in the Malaysia government itself to publish unadulterated statistics of racial discrimination.

If the Malaysia government hides the statistics above, then there must be some evil doings, immoral doings, shameful doings and sinful doings, like the Nazi, going on onto the non-malays of Malaysia.

Civilized nation, unlike evil Nazi, must publish statistics to show its treatment on its minority races. This is what Malaysia must publish……….

We are asking for the publication of the statistics showing how "implementation of special rights of malays" had inflicted colossal racial discrimination onto non-malays.